Jumat, 25 September 2009

Seandainya Semua Pria Seperti King Hades

Saat saya membuat post mengenai infrared vision, saya teringat sebuah hal lain yang membuat saya merasa ‘teng’. Dan hal ini masih berkaitan dengan kemampuan sang pria mata keranjang melihat hal-hal yang tak bisa dilihat oleh orang awam pada umumnya.

Berikut percakapan yang pernah diceritakan oleh sahabat saya.

Seorang wanita dan seorang pria duduk berhadapan di sebuah cafĂ©. Terlihat dari wajah sang wanita bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Aku takut Ko. Kalo dia ga mau lagi sama aku gimana ya?” keluhnya. Sang pria hanya diam. Setelah cukup lama, dia bertanya, “Apa yang bikin kamu takut dia ga mau lagi sama kamu?” “Koko gimana sih? Kan udah jelas? Kalo dia sampe tau, mana mau lagi dia?” jawab wanita itu agak ketus. Karena ‘kesalahan’ yang dibuatnya di masa lalu, sang wanita jadi takut bahwa pasangan yang sekarang akan meninggalkannya begitu tahu soal ‘kesalahan’ tersebut. Masalahnya, cepat atau lambat, pasti hal ini akan diketahui.

“Bagus…” jawab sang pria. “Kok bagus?” sang wanita tambah naik darah. “Ya. Bagus. Karena kalau dia sampai tinggalkan kamu cuma gara-gara masalah sepele itu, berarti kan dia ga pantas dapat wanita seperti kamu. Betul? Seorang pria kan sudah selayaknya bisa menghargai wanita dari berbagai aspek. Daripada harus hidup bersama pria yang picik seperti itu, lebih baik kamu terus sendiri. Bagus kalau ketahuan sekarang. Daripada nanti-nanti? Lebih baik ketahuan sekarang, kalau dia memang picik, ya sudah. Bubar saja. Jalinlah hubungan dengan pria yang bisa menghargai kamu lebih dari sekedar ‘piala’,” jawab sang pria panjang lebar. “Iya. Memang mestinya gitu. Tapi, mana ada sih cowo yang kaya gitu?” tangkal sang wanita. Sang pria hanya tersenyum. Mungkin karena sedang emosi, sang wanita lupa alasan mengapa dia menceritakan masalah ini kepada pria yang ada di hadapannya. Ya. Alasan mengapa dia berani menceritakan kejadian yang, menurutnya, memalukan ini adalah karena pria yang ada di hadapannya adalah ‘cowo yang kaya gitu’.

"Jalinlah hubungan dengan pria yang bisa menghargai kamu lebih dari sekedar ‘piala’"

Saya tidak tahu siapa pria yang ada di hadapan wanita itu. Tapi yang jelas, pria yang ada di hadapan saya waktu saya mendengar kisah ini, juga adalah ‘cowo yang kaya gitu’. Seharusnya saya kenalkan saja ya, wanita itu pada sahabat saya. “Saya tidak habis pikir pak. Bisa-bisanya seorang pria meninggalkan kekasihnya hanya gara-gara selaput dara,” ujarnya dengan sedih. “Buat Anda itu tidak penting Pak?” saya bertanya, sedikit heran. “Pak, Anda bertanya seperti itu, sama saja dengan bertanya ‘Apakah huruf pertama dari nama depan wanita penting?’”, jawab King Hades sambil tertawa. Luar biasa! Bahkan di negara barat yang lebih bebas saja, hal seperti ini masih relevan. Tapi di hadapan King Hades, hal yang banyak dicari oleh banyak pria ini sama tidak pentingnya dengan huruf pertama dari nama depan sang wanita. Memang. Banyak teman-teman pria saya yang bilang tidak mempermasalahkan urusan selaput dara. Walaupun sebenarnya mereka merasa itu adalah suatu ‘nilai tambah’. “Kalau sudah sayang, ya tidak apa-apa. Tapi kalau bisa sih…” begitu kira-kira pandangan yang berlaku di lingkungan pergaulan saya.

Karena itu saya cukup terkejut mendengar pandangan King Hades soal ini. Bukan hanya bisa menerima atau mentolerir: dia sama sekali tidak peduli. Sama tidak pedulinya dengan nama hewan peliharaan sang wanita atau dengan huruf terakhir nama keluarganya.

“Dilihat dari sisi manapun, itu tidak ada artinya pak,” kembali infrared visionnya beraksi. Secara logika memang demikian. Masalahnya, manusia adalah makhluk emosional. Banyak tindakan kita yang didasari emosi. Saya yakin, pria-pria yang mementingkan selaput dara juga ‘tahu’ bahwa yang mereka inginkan itu tak ada gunanya. Tapi mereka ‘merasa’ lebih puas kalau mendapatkannya.

Seandainya semua pria berpandangan seperti King Hades… “Kalau semua pria berpandangan seperti saya, pialang selaput dara bisa gulung tikar semua pak,” ujarnya sambil tertawa. Ya. Pialang selaput dara bisa gulung tikar. Dan kaum hawa bisa bebas dari perasaan takut yang seharusnya tak perlu ada. Kalau semua pria berpandangan seperti King Hades, tak akan ada lagi wanita yang bernasib seperti wanita dalam kisah tadi. Tapi, yah, ini hanya angan-angan saya belaka…



Rabu, 16 September 2009

Ulah King Hades: Mendekati SPG

Waktu itu saya sedang berjalan-jalan bersama King Hades. Di sebuah mal, sedang diadakan pameran electronic. Kami yang berada di lantai 2 menyempatkan diri untuk melongok, melihat pameran di lantai bawah. “Pak, sebentar,” kata sahabat saya. Ternyata ada yg menarik perhatiannya. “Hmmm…. Anda pernah bertanya bagaimana caranya mendekati wanita kan pak?” tanya beliau. Saya mengangguk. “Sekarang saya akan tunjukan secara langsung pak. Ada SPG yang cukup menarik. Akan saya dekati dia. Perhatikan baik-baik ya.” Wah! Kesempatan emas ini! Memang, saya pernah beberapa kali bertanya pada sahabat saya cara mendekati wanita. Walaupun, tentunya, belum pernah saya praktekan. Tapi, bisa melihat ‘sang master’ beraksi, LIVE, adalah kesempatan yang tak boleh saya lewatkan.

Kami menuruni escalator dan langsung menuju pameran. King Hades berjalan di depan. Semakin dia mendekati tempat pameran, semakin cepat jantung saya berdetak. Tinggal beberapa langkah lagi, King Hades sudah mencapai SPG yg dituju. Tiba-tiba saja sang SPG membalikan badan dan pandangannya bertemu dengan pandangan King Hades. Namun tak terjadi percakapan. Sang SPG kembali membagikan brosur kepada pengunjung. King Hades kini sudah berada di sebelahnya. Saya menantikan saat-saat dimana sahabat saya memulai percakapan. Eh, tak taunya, dia menghampiri saya dan berkata “Ayo pak. Sudah.” “Hah! Katanya mau deketin pak?” tanya saya penasaran. “Iya. Sudah kan? Tadi memangnya masih kurang dekat pak?” jawab King Hades sambil tersenyum. “Lho? Kalo gitu doang, saya juga bisa dong pak?” “Iya. Gampang kan pak?” jawabnya sambil ngeloyor pergi.

Kurang ajar! Ternyata mendekati SPG maksudnya mendekati posisi dia berdiri! Kalau begitu, siapa saja juga bisa.

Minggu, 06 September 2009

Berjalan Terseok-seok Sambil Menantikan Datangnya Cahaya Itu

Bagi saya hidup begitu misterius, banyak hal di dalamnya tidak pernah bisa diduga. Apapun bisa terjadi, hari ini dunia begitu indah, besok belum tentu.

Saat ini hidup rasanya seperti berada di dalam sebuah terowongan gelap yang tidak terlihat di mana ujungnya, gelap sekali tanpa ada cahaya sedikitpun. Padahal sebelumnya dunia terasa begitu cerah.

Ya, Aneh sekali, walaupun masih berada di bumi yang sama seperti yang saya injak kemarin, semua terasa berubah 180 derajat. Yang kemarin terasa hangat dan begitu bersahabat, sekarang begitu dingin dan menakutkan.

Berada dalam situasi seperti itu, rasa takut dan putus asalah yang dengan cepat akan menemani tanpa perlu diundang. Dua hal yang sebenarnya tidak saya sukai, tapi rasanya sulit sekali untuk menyuruh mereka pergi.

Semua terasa menakutkan dan cahaya yang bernama harapan seakan menghilang ditelan pekatnya kegelapan di dalam terowongan itu. Semuanya begitu gelap, begitu dingin dan mengerikan.

Memilih untuk menyerah dan pasrah akan keadaan saat itu sepertinya menjadi pilihan terbaik. Begitu menggoda untuk memutuskan berhenti, cukuplah sampai di sini, tak ada lagi yang bisa dilakukan.

Toh dunia akan tetap berputar, satu orang manusia lagi yang meninggal di dalam terowongan gelap ini tidak akan membuat perbedaan yang berarti di dunia ini.

Ya, menyerah saja, biarlah kegelapan ini menjadi akhir semuanya. Tapi entah kenapa, walaupun pilihan ini begitu menggoda, rasanya ada yang mengganjal..

"saya memilih untuk terus berjalan"

Hanya berdiam diri di dalam kegelapan terowongan ini sampai kapanpun, saya tak akan pernah melihat cahaya.

Kalau memutuskan untuk berjalan walaupun tak tahu kapan akan menemukan tempat keluarnya, mungkin suatu hari nanti saya akan menemukan ujung dari terowongan ini, dan saya akan merasakan kembali dekapan cahaya yang saya rindu-rindukan. Walaupun sebenarnya tak ada jaminan bahwa pasti berhasil keluar dari kegelapan itu, walaupun tak tahu ancaman seperti apa yang siap menerkam, walaupun ternyata terowongan itu ujungnya buntu.

Setidaknya gagal dalam perjuangan mencari cahaya terlihat lebih gagah daripada pasrah dan menyerahkan diri dalam kegelapan. Memutuskan berjalan dalam situasi seperti itu membutuhkan keberanian. Memutuskan tetap berjalan membutuhkan usaha lebih daripada hanya diam dan pasrah.

Sebuah pertemuan dengan King Hades, mengingatkan saya tentang hal-hal ini, dia pernah berkata: "Pak, hidup adalah pilihan, kita bisa memilih untuk menyerah atau terus berusaha. Keduanya adalah pilihan yang berani, menyerah berarti menerima dengan gagah segala konsekuensinya. Terus berusaha sekerasnya walaupun tak ada jaminan usahanya akan membawa hasil, inipun pilihan yang gagah. Walaupun dunia selalu memandang rendah pada kata 'menyerah' tapi percayalah, diperlukan keberanian tersendiri untuk melakukannya. Kita perlu angkat topi untuk orang-orang yang menyerah tersebut karena mereka dengan berani membuang semua kemungkinan-kemungkinan yang mungkin bisa mereka raih, jika mereka tidak memutuskan menyerah. Bukankah demikian, Pak?" Saat itu saya hanya terdiam merenung, tentang apa yg disampaikan oleh King Hades.

Dan karena kata-katanyalah saya memutuskan, dilemparkan ke dalam terowongan seperti apapun, segelap apapun, selama saya memilih untuk terus berjalan, terus bertahan, mungkin suatu hari cahaya itu akan terlihat.